12 Juli 2009

Keluarga, Harapan, hingga Pergerakan

Waktu sepertiga malam awal saat ku membuka mata pertama kali di hari yang telah berbeda terasa sama saja, pengap, panas, suasana yang tidak mengenakkan. Walaupun keretaku itu berlari dengan sangat kencang sehingga aliran angin deras masuk ke dalam gerbong, tapi tetap saja, hal positif itu tidaklah dapat merubah suasana tidak menyenangkan itu. Masih kulihat orang-orang terlelap ketika itu, pelampiasan kelelahan sehabis bermanuver, meliuk-liukkan tubuhnya demi untuk mendapatkan tempat yang layak untuk hanya sekedar memejamkan mata. Ku heran ketika itu, di tempat sesempit itu anehnya, mereka masih saja bisa nyenyak terlelap dalam gelap. Ingin ku teriakkan, “Bangun-bangun wahai manusia, sambut awal harimu dengan penuh semangat” tapi apa daya, mulut ini tak bergerak seakan ada ribuan ton yang masih membebani mulut ini bergerak hanya untuk sedikit berbicara saja.


Ku mempunyai harapan di awal waktu pagi ini, mumpung burung-burung masih terlelap, hewan-hewan siang belum mulai berktivitas, untuk kemudian menjadikan hari ini, hari yang bersejarah bagiku, menjadi sepotong bagian yang teramat penting dalam puzzle kehidupan ku. Ku masih membawa harapan besar itu dari gerbong terakhir. Ku simpan itu dalam-dalam. Tidak peduli kata orang, mungkin ini hanya sepenggal kisah biasa, tapi ku tak perlulah goyah akan itu. Sebuah anggapan itu datang dari subjektivisme seseorang dalam melihat sesuatu. Ku pikir sah-sah saja. Dari gerbong belakang yang penuh sesak dengan manusia-manusia yang masih juga memejamkan mata ini kami berikrar dalam hati untuk melakukan yang terbaik untuk hari ini.


Tak terasa keretaku telah melewati Stasiun Tambun. Itu berarti saatnya untuk berkemas-kemas, siap-siap untuk turun dari kereta, karena mengingat rencana awal ku ketika melakukan perjalanan panjang ini adalah turun di Stasiun Bekasi, lalu kemudian menyempatkan diri untuk, ya sekedar bercengkrama dengan ummi tercinta, walau hanya sesaat, dan setelah itu barulah ku tunaikan tugas yangtelah diamanahkan kepadaku sebelumnya. Beberapa orang mulai terbangun. Masih tampak ekspresi-ekspresi tak berdosa dari wajah mereka, dengan mata setengah terpejam, badan gontai, hingga ketika orang itu bersuara, pastinya tidak akan jelas, apa yang diomongkannya. Mungkin yang terbangun tadi, sama seperti ku. Ingin meninggalkan gerbong belakang ini di Stasiun Bekasi. Kami bersiap-siap untuk turun. Walau di dalam gerbong cahaya remang-remang tak karuan, tetap saja kami persiapkan segala sesuatunya untuk persiapan turun. Jangan sampai ada barang yang tertinggal. Tidak terlupa juga, sebuah harapan yang telah dicanangkan tadi janganlah ikut tertinggal dalam gerbong terkahir ini.


Perlahan kereta mulai memasuki kawasan Stasiun Bekasi. Stasiun ini merupakan Stasiun penting bagi jalur perkereta-apian di Indonesia sehingga dapat kemudian dikategorikan sebagai salah satu Stasiun utama. Terlihat dalam kegelapan waktu malam crane, alat untuk meletakkan peti kemas di salah satu gerbong kereta, berdiri kokoh menjulang tinggi, berdiri dengan angkuhnya, paling tinggi diantara bangunan-bangunan di sekitarnya. Ini memberi pelajaran bagiku, bahwa kecenderungan manusia ketika dia berada di tempat yang dirasa tidak ada orangyang setara dengannya maka akan timbul kemudian rasa angkuh dalam dirinya. Tanpa pernah tersadar, yang pantas angkuh itu hanyalah Allah semata, dan kita sebagai manusia biasa, sudah seharusnya membuang jauh-jauh rasa angkuh itu. Ku langsung melangkahkan kaki di kota Bekasi tercinta, kota dimana ku tumbuh besar, menerima kasih sayang dari orang tua, dan juga menyerap berbagai ilmu pengetahuan dasar yang ada. “wuhh, tidak banyak yang berubah..” pintaku dalam hati. Lampu-lampu jalan temaram, menghiasi indahnya awal hari, ketika itu. Masih belum terlihat aktivitas penduduk, ketika itu. Hanyalah terlihat aktivitas-aktivitas para pekerja malam yang berusaha menafkahi keluarganya. Tukang Ojek dengan beragam jenis motor yang tersusun semrawut di pinggir jalan, sopir angkutan umum dengan mobil tuanya yang sudah tak layak jalan lagi masih menampakkan wajah ngantuknya, dan tentunya pak polisi yang senantiasa tetap terus berjaga mengamankan lalu lintas.


Melesat kami berdua di tengah suasana malam yang masih sepi menaiki motor milik tukang ojek langsung mengarah ke tempat tinggal ku yang penuh kenangan itu. Tak perlu menunggu lama, akhirnya sampai juga ku di tempat yang paling bersejarah bagiku. Home sweet home. Di sana telah menunggu dengan sabar ummi tercinta yang sudah rindu dengan buah hatinya. Walau hari masih petang dan matahari masih malu menampakkan tubuh perkasanya. Suasana yang mendominasi ketika itu adalah rasa rindu dan haru yang meluap-luap dalam diri kami. Tapi pertemuan ini agak sedikit ku sesali, karena saat itu memang bukan waktunya untuk berlibur, hanya dua hari ku di ibukota, menjadikan pertemuan singkat ini haruslah di manfaatkan dengan baik. Bercengkrama dengan ummi tercinta, sampai sahabatku sedikit bingung dengan hubungan antara diriku dengan ummi tercinta. Seperti layaknya adik kakak saja, sebegitu dekatnya diriku dengan sosok seorang ummi tercinta menjadikan diriku merasa nyaman ketika berbicara, bercengkrama, mencurahkan apa yang ada di dalam hati, dan apapun permasalahan yang ada dalam diri seakan luntur dalam sekejap ketika mengungkapkannya kepada ummi.


Ummi adalah sosok yang hebat sepanjang hidupku. Begitu banyak jasa beliau untuk diriku. Bahkan ketika kesulitan menghimpit seberat apapun, tapi tetap saja tekad untuk menjadikan anaknya lebih baik daripada dirinya menjadikan sumber tenaga yang luar biasa besar. Tenaga imajiner yang sungguh luar biasa ketika itu dikelola secara optimal. Keberadaan beliau bagi hidupku, tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Tanpa beliau, mungkin aku tidak sampai mengalami pengalaman sebegitu dahsyatnya seperti ini. Pembelajaran yang diberikan, pendidikan dalam kerangka Islam yang mengajarkan nilai-nilai kebajikan dan kebaikan senantiasa ditanamkan ketika aku masih berumur jagung. Inilah yang dinamakan dengan pendidikan yang mendasar yang dibentuk dari lingkungan terkecil dalam kehidupan manusia, yaitu lingkup keluarga. Keluarga adalah pondasi utama dalam pembentukan akhlak, disamping lingkungan atau bi’ah yang ada di sekitar kita. Keluarga ibarat sebuah antivirus bagi virus-virus akhlak yang menjangkit, ibarat sebuah deterjen bagi noda-noda perilaku yang melekat, ibarat sebuah penghapus karet bagi tulisan-tulisan pengalaman yang tidak terpakai lagi. Ibu disini, berperan sebagai guardian yang senantiasa menjaga sistem, menjaga kestabilan amplitudo distorsi lingkungan yang luar biasa besar. Ketika sosok seorang ibu tidak menjalani fungsi ini dan juga ketika antara hubungan seorang anak dengan ibunya begitu jauh sehingga timbul jurang pemisah diantaranya maka adalah sebuah keniscayaan ketika sistem yang menjaga kestabilan distorsi itu akan senatiasa rapuh dan invulnerable terhadap ancaman dari luar.


Suasana yang mendominasi pagi itu adalah suasana kebahagiaan yang menghiasi wajah seisi rumah yang ada ketika itu, termasuk juga sahabatku yang juga ikut menyertakan dirinya dalam interaksi ku ketika itu. Walau rumah ku itu kecil tak terlalu besar, akan tetapi rasa keharmonisan, keakraban, kenyamanan senantiasa mengisi relung-relung hati. Bagiku ini lebih baik ketimbang memiliki rumah yang besar lagi luas, tapi apa yang ada ?, hanyalah sebuah keretakan, konflik disana-sini, saling tidak mengerti antar anggota keluarga. Dan ini seringkali terjadi dewasa ini di masyarakat kita. Sungguhlah sebuah kontradiksi, ketika melihat hal ini. Dan tak terasa Adzan Subuh pun terdengar, tepat ketika kami telah menghabiskan menu sahur yang telah disajikan sebelumnya, karena hari itu aku dan sahabatku berniat untuk melaksanakan shaum sunnah.


Entah mengapa pagi itu begitu sibuk, begitu crowded, sehingga menjadikan diriku kebingungan dan layaknya seperti orang yang linglung. Akan tetapi karena bumbu-bumbu keharmonisan yang telah kami bangun pagi tadi membuatku tetap merasa nyaman. Beberapa aktivitas pagi hari telah kulakukan dan tibalah saatnya untuk bergegas menuju tempat perjuangan hari ini. Tidak ada bayangan sama sekali yang timbul dalam benakku, tentang gambaran pengalaman yang akan kuraih nanti. Sama sekali tidak tergambar dalam benakku. Rasa penasaran dan keingin-tahuan serta ketidak-sabaran bercampur aduk menjadi satu, “huhh, tak karuan” gumamku. Dalam perjalanan menuju tempat dimana diriku menimba pengalaman kami lanjutkan untuk memperkaya diri, sama seperti yang kulakukan ketika di kereta malam harinya. Dua kali naik angkutan dengan rute berbeda ditambah dengan menu sehari-hari pejuang pergerakan kampus Depok yaitu gerbong kereta yang selalu penuh yang setia menemani perjuangan mereka. Akan tetapi pagi ini kereta tujuan Depok tersebut tidaklah terlalu ramai sehingga kami agak sedikit lega. “ untunglah..” pintaku dalam hati.


Bunyi tak asing bagi kami yang keluar dari gesekan yang terjadi antara bantalan rel dengan roda baja sang kereta menjadi teman akrab kami, mungkin juga menjadi teman akrab para pejuang pergerakan kampus Depok. Bunyi itupun senantiasa terdengar hingga kami tiba di stasiun pemberhentian kami, pemberhentian dimana disana bertempat sebuah kawah candradimuka bagi pejuang-pejuang pergerakan untuk menimba ilmu dan merengkuh pengalaman. Dengan berbalutkan jaket berwarna kuning sebagai penanda kedigdayaan suara mahasiswa dalam berkontribusi membantu mewujudkan tata kelola kehidupan bernegara kita. Kampus Depok yang satu ini memanglah menjadi impian siswa-siswi Sekolah menengah untuk berkembang meningkatkan kapasitas, menjadi impian untuk mendapatkan pengalaman organisasi, menjadi impian sebagai sarana dalam rangka merealisasikan visinya, bahkan impian untuk mendapatkan pasangan hidup sekalipun. Hehehe. Kami langkahkan kaki dan segera untuk melangkah ketika itu arlojiku menunjukkan pukul 07:30 waktu Indonesia bagian barat.


To Be Continued....

Tidak ada komentar: