07 Juli 2009

Menyoal identitas kebudayaan kita

>

Satu lagi pengalaman dalam hidup ku. Pengalaman di tengah hingar bingar kehidupan ibukota di suasana malam hari nan cerah tak berawan hingga sang Ratu malam menampakan dirinya. Keceriaan menyelimuti seluruh kota. Gelak tawa dan canda mewarnai tumpah ruahnya para pengunjung ketika itu. Seluruhnya berbaur menjadi satu di dalam satu lokasi yang luas. Di daerah Kemayoran, beberapa hari telah berlalu, menampilkan sebuah fenomena menarik dewasa ini. Ada yang tahu, ada apa di Kemayoran? Mungkin bagi orang Jakarta sudah familiar akan ini. Sebuah pameran yang bertajuk Jakarta Fair, menyedot ribuan penduduk ibukota untuk datang meramaikan acara tersebut dalam seharinya. Bak seperti sebuah magnet kuat yang menarik logam yang ada di sekitarnya.


Satu fenomena yang kutangkap saat itu adalah salah satu fenomena akibat perkembangan zaman yang sangat pesat. Hilangnya sekat-sekat pembatas zaman yang meruangi nilai-nilai dan norma-norma yang ada. Becampur, berasimilasi, Hal itu semua menjadi satu paduan semrawut yang tidak jelas. Bagaimana bisa mendefinisikan itu hal yang baik atau satu hal yang buruk oleh mata zaman, mata akal, mata nurani, dan mata-mata yang lain. Adakah pembenaran akal hal ini ?. Adakah ini merupakan hal yang lumrah atau sewajarnya ?. Kebudayaan yang sudah semestinya menjadi sebuah identitas sebuah bangsa, apakah telah tergantikan ?. Nilai-nilai yang sudah semestinya tertanam sebagai kepribadian bangsa, sudahkah terdegradasi, hanya karena sebuah solidaritas global.


Bagaimana tidak, malam itu kutemukan di tengah-tengah keceriaan, sesuatu yang sedikit mengusik benakku. Sebuah keganjilan yang nyata melintas lalu lalang di depan mataku. Kebudayaan yang sudah seharusnya mendapat tempat istimewa ketika itu menjadi termarjinalkan. Acara yang seharusnya menjadi sebuah cagar alam kebudayaan, malahan menjadi ajang komersialisasi semata. Mana apresiasi akan unsur kebudayaannya ?. Mengaca kembali pada tajuk yang diberikan untuk kegiatan ini, yaitu Jakarta Fair. Saya ingin bertanya kepada kalian semua, Apa yang ada pada benak Anda ketika Anda mendengar kata-kata Jakarta Fair ?. Apakah sebuah pameran kebudayaan, pameran produk-produk kebudayaan, pameran keragaman nilai-nilai budaya yang tetap lestari, atau malahan yang ada hanyalah ajang komersialiasi produk-produk yang bersliweran di Indonesia yang dibumbui dengan hadirnya SPG (Sales Promotion Girl) yang menggoda iman. Jika dalam benak Anda yang tergambar hanyalah sosok seorang SPG berpakaian serba mini semata yang menambah keyakinan konsumen akan suatu produk, maka diri Anda sudah terjangkiti sebuah virus. Virus yang bernama globalisasi. Virus yang mendefinisikan dirinya sebagai pemakluman atas solidaritas global, “ikut-ikutan global” yang sedang menjangkiti kaum muda Bangsa Indonesia.


Jika dalam benak Anda, Anda masih menyisakkan ruang untuk berpikir lebih ke depan lagi untuk kemajuan Bangsa ini dengan indikator Anda setuju akan sikap Bangsa ini dalam melestarikan apa yang dinamakan Kebudayaan Daerah maka Anda sudah menaruh sebuah sikap peduli akan Bangsa ini. Saya apresiasi akan hal itu. Tapi itu adalah satu hal yang jarang sekali ditemukan dewasa ini. Kita butuh orang-orang seperti ini. Orang-orang yang menghargai perbedaan, dan menjadikan perbaikan ini sebagai kekuatan pengokohan.


Keanekaragaman kebudayaan sejatinya adalah satu hal yang patut disyukuri. Karunia dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang luar biasa. Keanekaragaman ini haruslah disikapi sebagai pemerkokoh kesatuan Bangsa kita. Bagaimana logikanya kebudayaan yang banyak dapat membuat kuatnya kesatuan Bangsa. Sebagai contoh, saya analogikan sederhana seperti layaknya sebuah bangunan kokoh yang dibangun dari tumpukan atau susunan batu-batu bata yang saling berekatan satu sama lain sehingga menjadikan batu-bata itu mengautkan satu sama lan. Apakah kita tidak menyadari akan hal itu ?. Apakah kita semua sudah merasa angkuh akan masing-masing suku dari mana kita berasal ?. Sehingga kita masih menyisakan rongga-rongga dalam kehidupan kita dimana seharusnya kekuatan itu berasal. Makin banyak rongga, makin rapuhlah jiwa kebangsaan kita.


Berbicara lebih lanjut akan rongga ini, maka rongga inilah yang selanjutnya akan diisi oleh kebudayaan atau nilai-nilai lain yang berasal dari luar. Ini akan lebih berbahaya ketika imunitas yang kita miliki akan ini lemah. Kenapa bisa lemah ?. Ya kembali kepada seberapa rasa cinta kita, seberapa bangga kita akan identitas kita sebagai Bangsa Indonesia itu sendiri. Sudahkah rasa cinta akan tanah air sudah menyatu dalam jiwa dan raga kita, atau hanyalah sekedar pelengkap butir-butir Pancasila saja. Ya, rasa bangga kita sudah terreduksi. Kita tidak bisa menyangkal akan hal itu. Janganlah sombong pada diri kita sendiri dan pada masing-masing kebudayaan yang kita miliki. Itu hanyalah sebagian kecil dari pemberian Allah juga. Apa yang patut kita banggakan ?. Sudah saatnya kita bangun dari tidur dan saatnya untuk bangkit.


Kembali kepada perbincangan tentang Jakarta Fair itu sendiri, Ku temukan hal yang paradoks akan kebudayaan itu sendiri ketika itu. Di satu sisi rasa fanatisme berlebihan akan suatu kebudayaan yang membuat rongga-rongga ketidak-harmonisan antar suku menjadi renggang, dan di sisi yang lain adalah bagaimana kemudian nilai-nilai kebudayaan itu sendiri yang sudah mulai pudar. Adakah korelasinya ?. Jawabannya ada. Ketika seseorang sudah berlebih akan sukunya sendiri dengan produk kebudayaannya maka akan timbul rasa kejumudan yang kemudian menimbulkan rongga yang makin renggang itu tadi. Ketika rongga itu makin renggang otomatis ada ruang kosong yang tidak terisi dalam tembok persatuan Bangsa. Nah, ketika rongga itu sudah kosong maka sistem imunitas kita akan modernisasi dan westernisasi menjadi vulnerable pada diri kita, sehingga ini membuat mudahnya kebudayaan barat, budaya kebebasan yang dunia Barat suguhkan dengan mendompleng dengan arus Globalisasi yang ada, mengisi rongga-rongga kosong itu. Dengan dalih untuk kemudian memperbaharui atau mempercantik kebudayaan yang sebelumnya di elu-elukan masing-masing daerah. Nah virus westernisasi ini yang kemudian sudah menyebar kemana-mana sehingga mereduksi nilai-nilai kebudayaan itu sendiri.


Lalu yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, Apakah yang selanjutnya dapat kita lakukan untuk mengatasi permasalahan ini. Apakah ini sudah menjadi satu hal yang menjadi sebuah keniscayaan sehingga kita melihat ini sebagai satu hal yang lumrah atau seperti apa ?. Adakah ini sebuah pembenaran zaman ?. Apakah semua ini sebuah penyakit yang sudah sangat kronis menjangkiti Bangsa kita. Sebuah diskursus tentang kebudayaan yang semestinya sudah harus terselesaikan ketika kita berbicara tentang persatuan Bangsa itu sendiri. Mudah-mudahan ini menjadi bahan renungan kita bersama. Sudah sedalam apa kecintaan kita pada Tanah Air kita sendiri. Sudah seberapa besar kontribusi kita untuk Bangsa ini dibandingkan egoisme kita dalam mementingkan pribadi maupun kelompok tertentu. Saatnya untuk sadar dan bangun dari tidur panjang. Dan untuk para pemuda, tiada kata lain untuk terus senantiasa berkontribusi untuk kemajuan Bangsa ini. Semoga langkah-langkah kita dalam mengokohkan jatidiri kebangsaan kita menjadi sebuah amalan ibadah di sisi-Nya.

Tidak ada komentar: