18 Juni 2009

Dari Gerbong Terakhir, Membawa Sekeranjang Harapan

Ku ketika itu, entah apa yang ada dipikiranku. Segalanya bercampur menjadi satu. Tumpah ruah memenuhi jagad benakku yang sudah tidak cukup lagi. Rasa bangga, haru, was-was, deg-degan, kesal, malu, sombong. Kesemuanya menjadi satu. Entah mana yang dominan dalam pikiranku, seakan semua sudah melebur jadi satu. Terduduk di bangku kereta di gerbong terakhir bersama sahabatku, memimpikan hari esok yang bersejarah. Sore yang tiada indah karena tidak berselimutkan jingga langit di sekitaran matahari tenggelam nun jauh disana. Riuh penumpang kereta membicarakan topik-topik tertentu tergantung umur, dan latar belakang mereka. Ku dan sahabatku melihat sekeliling, penuh dengan rasa heran dan bertanya-tanya. Tidak seperti biasanya, kereta yang kami tumpangi masih menyisakan banyak bangku kosong tak berpenghuni. Apakah karena ini hari kerja ?. Ah tapi ku rasa tidak, karena ketika ku ingat-ingat ini adalah hari ahad. Lalu mengapa ?, apakah karena ini gerbong terakhir jadi dianggap sebagai gerbong sisa ? Ku segera melupakannya dan bersegera untuk menikmati perjalanan jauh ke sebuah kota pengharapan bernama Jakarta.

Sembari ku nikmati perjalanan, ku segera memasang jack earphone ke dalam ponsel musik baruku, dan setelah itu, buru-buru ke masukkan earphone menghujam ke dalam telingaku. Tak lama kemudian, alunan musikpun bergema menembus gendang telingaku, pun juga sahabatku yang duduk disebelah kananku, melakukan hal yang sama dengan ku. Berusaha untuk menghabiskan perjalanan dengan aktivitas mendengarkan dendangan musik yang menyemangati. Terlepas dari kontroversi akan musik itu sendiri dalam agama mulia ini, ku segera terlarut dalam alunan melodi nasyid haroki yang menggetarkan jiwa, sekaligus membakar semangat, dan mendorong-dorong tangan ku untuk mengepal dan melantangkan seruan Allahu akbar ke udara. Akan tetapi keinginan hanyalah sebatas keinginan terpendam saja. Ekspresi yang sudah mau lepas ini seakan kandas begitu saja, redam dan tidak bernilai. Satu lagu berlalu, terus hingga satu album yang sekiranya hingga sepuluh lagu berputar di kepalaku, hingga tak terasa waktu sembahyang maghrib pun telah tiba.

Di gerbong terakhir di sebuah kereta penuh harapan di sore itu, ku dan sahabatku bersegera untuk menghadiri pertemuan penting dengan Sang Pencipta kami yang begitu menyayangi kami berdua hingga kami masih bisa diberi kesempatan untuk hidup di sore itu dan bahkan berharap untuk hari esok. Didahului dengan tayamum selayaknya sebuah ritual peribadatan saat ini, kami membasuh segala dosa diri, segala kotor diri dengan debu yang sekiranya melekat di sekitar kami, hingga akhirnya kami terlarut dalam kekhusyukan pertemuan nan agung ketika itu. Sekaligus sembahyang isya kami lakukan karena mengingat keringanan yang diberikan oleh Sang Pencipta kami karena kami sedang dalam perjalanan jauh menuju kota harapan.

Diriku masih meraba-raba apa yang terjadi ketika mentari esok hari telah terbit merona, Ku juga tidak mengetahui pengalaman baru apa yang akan ku dapati esok hari, sehingga membuat ku seperti orang yang kehilangan kesadaran karena terus saja memikirkan hari esok yang tak tentu. Entah apa yang dipikirkan oleh sahabat di sebelahku, apakah apa yang ia pikirkan sama sepertiku,hanya dia dan Dzat yang Maha Mengetahui saja yang tahu. Terlarut dalam buaian khayalan-khayalan semu, ku terdiam sesaat, dengan ditemani oleh bunyi gesekan roda kereta dengan bantalan rel yang khas. Hingga ku terlelap ke dalam tidur nyenyakku sembari ku dengarkan alunan musik kembali, kali ini yang ku pilih adalah lantunan melodi nasyid yang syahdu, dengan harmonisasi suara yang lembut dan memanjakan jiwa, nasyidnya ikhwan-ikhwan kesepian, obat manjur untuk membuatku nyenyak tertidur.

Hari sudah gelap, dan Ku terbangun ketika pak kondektur menagih karcis kepadaku. Ku terkaget dan linglung seketika, apa yang mau ku perbuat, ku tak tahu. Pandanganku kabur, tak jelas, menambah kegugupanku ketika itu, khawatir apabila karcis kereta tidak ketemu, bakalan sama nasibnya dengan bapak-bapak yang sore ini kedapatan tidak membawa karcis kereta, nasibnya membuat iba, tapi mau bagaimana lagi. Dan alhamdulillah ketemu, setelah sekian lama mencari dan wajah pak kondektur yang sudah mulai berubah menjadi wajah-wajah tak sabaran. Nih pak... . Akan tetapi permasalahanku belum usai, pandanganku menjadi kabur dan setelah ku sadari kacamata yang telah menemaniku sekian lama tidak ada di tempatnya, kontan ku cemas, khawatir kacamata itu hilang atau remuk terinjak orang yang lalu lalang di gerbong terakhir. Tapi lagi-lagi karena pertolongan dari Rabb-ku, kacamata ku akhirnya ditemukan di bawah koran tempat seseorang penumpang terlelap yang tidak tahu situasi sekitar.

Alhamdulillah,untunglah kacamataku segera ditemukan, maka segeralah ku putuskan ketika itu tuk mempersiapkan hari bersejarah esok hari. Penambahan kapasitas yang sungguh akan bermanfaat untuk berupaya di hari esok. Harapan rekan-rekan yang di bebankan ke pundak kami menjadi sebuah tanggungan akan sebuah kewajiban untuk membawa sebuah misi perubahan. Sejalan kereta bergerak dengan cepatnya membelah daerah persawahan nan sunyi, ku baca beberapa artikel yang pada hari sebelumnya telah kukumpulkan untuk menambah kapasitas tim kami dalam rangka mempersiapkan hari esok. Rasa kantuk pun tak terbendung oleh upaya yang dikerahkan oleh ku untuk tetap menjaga mata ini untuk tetap terbuka paling tidak hanya seperberapa inchi saja. Perlahan ku terlelap di keheningan malam dengan bumbu hawa panas nan pengap karena sesaknya manusia di dalam gerbong terakhir itu.

Ya, ku tertidur dan terlelap di dalam gerbong terakhir. Sangat nyenyak hingga suara pedangang asongan yang lalu lalang di kereta sebagai ikhtiar kehidupan mereka pun tak terdengar oleh ku. Memang menarik ketika memperhatikan aktivitas dari penjaja minuman, nasi bungkus, sale pisang dan sebagainya, menyuarakan apa yang didagangkan dengan suara-suara yang khas, dan terkesan unik. Dari mulai suara serak bapak-bapak hingga suara melengking ibu-ibu penjual kopi, jahe hangat, serta mie instant menjadi variasi kegaduhan ketika itu. Tapi ku tetap saja tidak mendengarkan dinamika kegaduhan itu. Ya, kunikmati tidurku hingga esok hari terbangun dan segera bergegas untuk berlari menyambut ketidakpastian dalam hidup yang telah menunggu

TO BE CONTINUED....

Tidak ada komentar: